Eropa Alami Musim Dingin (foto ist) |
PORTALBANUA.COM - Para peneliti mengungkap, Eropa mengalami musim dingin terhangat kedua
dalam sejarah pada Rabu (8/3/2023).
Menurut data yang dikeluarkan oleh Layanan Perubahan Iklim
Copernicus Uni Eropa itu ,rata-rata suhu di Eropa sejak Desember 2022 hingga
Februari 2023, 1,4 derajat celsius lebih panas dibanding rata-rata tahun
1991-2020 untuk bumi belahan utara.
Angka ini membuat rekor musim dingin terhangat
kedua di Eropa, dengan tahun 2019-2020 tercatat sebagai musim dingin yang jauh
lebih hangat.
Bulan Februari mencatat suhu tinggi di atas
rata-rata pada kawasan Eropa timur dan sebagian Eropa timur laut, kata laporan
Copernicus tersebut, seraya menambahkan bahwa suhu tinggi itu menyusul adanya
gelombang panas musim dingin yang parah pada akhir Desember 2022 dan awal
Januari 2023.
Baca Juga: BKKBN Berikan Penghargaan ke Lanud Sjamsudin Noor
Rekor temperatur musim dingin ini juga disebut melanda Perancis hingga Hungaria yang menyebabkan pusat wisata ski harus ditutup lantaran kekurangan salju.
Peneliti Copernicus sebelumnya menyebut
musim panas tahun 2022 jadi yang terpanas sejak pencatatan mereka dimulai.
Mereka menduga periode hangat Eropa dalam jangka panjang ini berkaitan dengan
perubahan iklim ulah manusia.
Dampak buruk bagi tumbuhan dan hewan
Meskipun musim dingin "hangat" yang tidak biasa ini menawarkan
bantuan jangka pendek di tengah harga gas yang tinggi setelah Rusia memangkas
pengiriman BBM ke Eropa, suhu tinggi yang dikaitkan dengan perubahan iklim ulah
manusia ini justru menimbulkan risiko bagi satwa liar dan pertanian.
Pasalnya, lonjakan suhu membuat tanaman berkembang biak lebih awal, dan memperdaya hewan untuk menyelesaikan hibernasi lebih dini. Hal ini membuat mereka rentan untuk dibunuh oleh hawa dingin di akhir musim.
Tilly Collins, Wakil Direktur Pusat Kebijakan Lingkungan Imperial College London, seperti dikutip oleh kantor berita Reuters menyatakan bahwa tanaman dan hewan berjuang untuk memindahkan habitat guna mempertahankan suhu ideal akibat perubahan iklim.
"Untuk spesies dengan populasi kecil atau dengan wilayah penjelajahan terbatas, hal ini dapat memperbesar potensi mereka menuju kepunahan," kata Collins.
Baca Juga: Prakarsai Siska Ku Intip, Gubernur Kalsel Jadi Penerima Satyalancana Wira Karya
Peringatan di Antarktika Dalam laporan itu, Copernicus juga menyoroti soal kejadian iklim luar biasa lainnya, termasuk mencairnya es laut Antarktika hingga level terendah di bulan Februari 2023 sejak pencatatan data satelit yang dimulai sekitar setengah abad silam.
"Data terbaru kami menunjukkan bahwa es laut Antarktika mencapai tingkat
terendah di catatan data satelit dalam 45 tahun. Kondisi es laut yang rendah
ini kemungkinan punya implikasi penting terkait stabilitas es Antartika dan
kenaikan permukaan laut di dunia."
Tudung es
di kutub merupakan indikator sensitif dari krisis iklim dan penting untuk
memantau dengan cermat perubahan yang terjadi di kawasan itu," kata Deputi
Direktur Copernicus Samantha Burgess. (brt/adh/tim)
Jangan lupa klik Follow Google News Portal Banua dan Cek Berita lainnya
0 Komentar